LOW CONTEXT CULTURE DAN HIGH CONTEXT CULTURE BUDAYA BATAK DAN BUDAYA SUNDA DALAM KOPERASI SIMPAN PINJAM (KOSIPA/KSP) MUTIARA JAYA KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT

 

 

 

Pendahuluan

Komunikasi erat kaitannya dengan budaya. Ketika proses komunikasi berlangsung, maka dalam proses itu pula diperngaruhi oleh budaya yang dianut baik komunikator maupun komunikan. Pada kenyataannya, komunikator dan komunikan  tidak memegang budaya yang sama. Ketika itulah manusia berkomunikasi melintasi budaya yang berbeda.  Andrea I. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam bukunya intercultural communucation, A Reader bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antar suku bangsa, etnis, ras dan kelas sosial(Samovar&Porter,1976). Samovar dan Porter juga menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi diantara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

Fenomena yang sedang berkembang saat ini di Cianjur adalah semakin banyaknya pendatang yang berasal dari suku Batak. Perkembangan orang batak di Cianjur dapat dilihat dari semakin banyaknya komplek permukiman (disebut:kavling) yang penduduknya hampir seluruhnya orang Batak. Sebuah kavling biasanya terdiri dari 10-20 rumah. Selain berkembangnya kavling batak, saat ini juga banyak kegiatan ibadah yang dilakukan diberbagai tempat dari mulai rumah warga hingga ruko yang diubah fungsinya menjadi gereja. Sedangkan, Orang Sunda khususnya Cianjur dikenal dengan religiusitas muslim yang tinggi. Cianjur diidentikkan kota santri karena banyaknya pesantren didaerah ini. Sedangkan orang batak sendiri mayoritas beragama kristen dan pada umumnya memegang teguh agamanya.

 

Foto 1

Ruko yang digunakan sebagai tempat beribadah

 

 

Orang batak yang merantau dicianjur, berasal dari masyarakat dengan status ekonomi rendah dan berasal dari daerah pedalaman dengan infrastruktur yang sangat minim.

Menurut Ibu Siregar ketika datang ke Cianjur ±10 tahun yang lalu mengisahkan  “saya dari pusat kota menempuh perjalanan dengan sepeda motor selama 4 jam setelah itu harus menunggang kuda untuk sampai dikampung halaman.” Mereka merantau untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan harta yang lebih banyak. “ kalau pulang tidak bawa uang 10 juta, saya tidak berani pulang. saya harus membawa sejumlah uang ketika kembali kekampung halaman sebagai tanda kesuksesan. ” 

Saat ini, Ibu Siregar menjadi orang dengan status ekonomi atas dari usaha koperasi simpan pinjam (KSP/Kosipa)  Mutiara Jaya di Cianjur. Banyak orang batak yang sukses dengan usahanya seperti kisah Ibu Siregar, seperti ungkapan from zero to hero, mereka yang berasal dari daerah yang terpencil, kemudian berhasil mendapatkan kesuksesan ketika merantau di Cianjur. Selain mendapatkan kekayaan dalam waktu yang relatif cepat dengan berhasil memiliki rumah dan kendaraan yang relatif mewah, termasuk dapat menyekolahkan putra-putrinya kesekolah terbaik (mahal). Dengan penghasilan yang dimiliki dan dibawa kekampung halamannya, saat ini jalur yang awalnya harus ditempuh dengan menunggang kuda sudah dihotmix dan dapat dilalui kendaraan bermotor.

 

Low Context Culture dan High Context Culture Budaya Batak dan Sunda

Teori Low Context Culture & High Context Culture yang dikemukakan oleh Edward T. Hall  didasari teori individual & collectivism. Low context culture terdapat pada masayrakat yang menganut budaya individual. sedangkan High context culture terdapat pada masyarakat yang menganut budaya individual. Edward T. Hall (1973) menjelaskan perbedaan konteks budaya tinggi dan konteks budaya rendah.  Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan pesan bersifat implisit tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda dan sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan dengan pesan nonverbal.

 Konteks budaya rendah ditandai dengan pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus terang. Pada budaya konteks rendah mereka mengatatakan maksud (They say what they mean) dan memaksudkan apa yang mereka katakan (they mean what they way)

Teori ini mengkategorikan masyarakat melalui banyaknya simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap interaksi. Semakin banyak simbol atau makna yang tersmbunyi semakin ia bersifat High Context Culture. Namun dalam kenyataannya, sebuah budaya tidak secara utuh dikategorikan High Context Culture karena sebagiannya memiliki kecenderungan termasuk dalam Low Context Culture. Demikian pula sebaliknya dalam sebuah budaya yang didominasi Low Context Culture didalamnya terdapat bagian High Context Culture..

Budaya Batak

Orang Batak merupakan bagian dari kebhinekaan bangsa Indonesia yang meskipun bukan suku mayoritas, tapi mampu mendominasi dalam berbagai bidang mulai pejabat, pengusaha hingga pengacara. Suku Batak  dikenal  dengan kebiasaan merantau. Ciri khas ini tidak hanya diakui oleh orang batak itu sendiri tapi juga oleh orang lain. Konsep indentitas diri dikemukakan Phadnis (Mulyana,2010) bahwa identitas etnis mengemuka lewat tanda-tanda budaya, mereka menekankan diri dan juga perasaan identitas yang berbeda yang berkaitan dengan kelompok dan pengakuannya oleh orang-orang lain.

Budaya batak mengenal prinsip Hamajuon (Kemajuan) yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu.  Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Tujuan migrasinya telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya saingnya.

 Apabila mereka pergi merantau, mereka akan mencari yang namanya “Halak Hita” yang secara harafiah diartikan “Orang Kita” atau yang artinya Sesama orang batak sendiri. Hal ini di karenakan adanya mikatan batin yang kuat sesama orang Batak. Tentu saja ini menjadui nilai plus bagi mereka sendiri. Dengan demikian artinya mereka sendiri memiliki sifat saling mengasihi sesamanya. Seorang Batak yang sukses di perantauan juga biasanya selalu menolong orang batak pendatang agar mereka memiliki pekerjaan. Disinilah bahwa orang batak juga memiliki Mindset “Unang pailahon halak hita, dang dapot horja” Jangan sampai sesama orang Batak di perantauan ada yang tidak dapat bekerja.

Budaya batak juga mengenal Hamoraon   (Kaya raya) salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya  orang Toba, mencari harta yang lebih  banyak. Prinsip ini memacu orang batak untuk mendapatkan kekayaan dengan sangat bersemangat, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik emosional karena keinginan bersaing yang sangat tinggi, dari prinsip ini juga secara emosional orang batak kemudian dikenal pantang menyerah dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late (dengki, iri) dan teal (sombong) (Harahap dan Siahaan, 1987)

 

Budaya Sunda

Masyarakat  Sunda pada  dasarnya  harus  dilandasi  oleh  sikap  “silih  asih,  silih  asah,  dan  silih  asuh”, artinya  harus  saling mengasihi,  saling mengasah atau mengajari, dan  saling  mengasuh sehingga  tercipta  suasana  kehidupan  masyarakat  yang  diwarnai  keakraban, kerukunan,  kedamaian,  ketentraman,  dan  kekeluargaan. Masyarakat  Sunda  sering  menghindari  hal-hal  perselisihan,  menghindari menghasut  dan  melibatkan  orang  lain  ke  dalam  perselisihan. Hidup  rukun  dan damai akan  tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita  saling  sayang-menyayangi,  saling  hormat-menghormati,  dan  tidak  memancing keresahan dan kemarahan orang lain. Ulah ngaliarkeun taleus ateul ‘jangan menyebarkan talas gatal’. Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkankeburukan/keresahan.

Tingkah  laku  orang  Sunda  dalam  pergaulan  hendaknya  saling mencintai,  saling  menghargai,  sopan-santun,  saling  setia  dan  jujur  disertai  kerelaan, sesuai  ‘folkways’  yang  mencakup  aturan  hidup/kehidupan  sosial,  sopan-santun,  dan kesusilaan. Proses  interaksi  sosial  antara  individu  yang  satu  dengan individu  lainnya,  dalam  masyarakat  Sunda  tidak  boleh  menyinggung  perasaan  orang lain  yang  akan    mengakibatkan  perpecahan  di  antara  anggota  masyarakat  itu  sendiri. berkehidupan  bermasyarakat kita  tidak  boleh  mementingkan  diri  sendiri  tetapi  harus  mendahulukan  kepentingan masyarakat  dan  keputusan  pribadi  yang  tidak  menguntungkan,  sesuai  dengan  sikapyang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri dengan adanya ungkapan Kaciwit daging kabawa tulang‘tercubit kulit dagingpun terbawa’ Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga.

Berikut analisis Budaya Batak dan Budaya Sunda dalam Low Context Culture dan High Context Culture berdasarkan model adaptasi dari Edward T. Hall dalam  Budaya Batak dan Budaya Sunda:

faktor

High-context culture

Low-context culture

Pola Komunikasi

Banyak menggunakan metafora pesan-pesan yang implisit. Tidak “to the point”

Orang sunda sangat kental dengan pola komunikasi yang tidak “to the point” dengan kata-kata halus dan cenderung mengarah ke basa-basi dalam rangka menjaga kesopanan dan perasaan lawan bicara agar tidak tersinggung.

Pesan yang disampaikan “to the point” tidak berputar-putar

Orang Batak berbicara dengan logat keras, ceplas ceplos dan “to the point”.  hal ini cerminan dari kejujuran dan ketegasan dengan prinsip/ falsafah hidup”Lamot-lamot hata ni Begu, Risi-risi hata ni Jolma artinya orang harus berbicara apa adanya walaupunkadang menyakitkan tapi merupakan pesan untuk hidup yang yang lebih baik.

 

Sikap diri apabila terjadi kesalahan

Menerima/menyikapi kesalahan yang terjadi sebagai kesalahan pribadi, cenderung untuk menginternalisasi banyak hal

budaya orang sunda  sudah indentik dengan hal hal yang lembut dan halus dan cenderung mau mengalah

Menilai kesalahan terjadi karena faktor eksternal/orang lain

Orang batak dikenal dengan perwatakan orangnya yang  keras dan tidak mau mengalah.

Penggunaan

komunikasi

nonverba

Menggunakan komunikasi non-verbal dengan ekstensif.

Orang Sunda relatif lebih menggunakan komunikasi nonverbal. Seperti gerakan tangan,anggukan kepala dan diam.

cenderung untuk menggunakankomunikasi verbal daripada non-verbal

Budaya orang batak yang  cenderung berbicara secara tegas dan langsung pada pokok masalah menjelaskan pentingnya penggunaan komunikasi verbal

ekspresi

reserved, mendem jero, ilmu padi(semakin berisi semakin merunduk  – rendah hati.

Orang sunda lebih senang memendam perasaan bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional dan terkesan agak penurut kepada orang lain. Termasuk ketika marah, orang sunda lebih banyak diam dibandingkan mengungkapkan marahnya secara verbal.

 lebih orang sunda dikenal lebih kalem dan tidak banyak berbicara. Diam dalam budaya sunda diartikan sebagai persetujuan

ekspresif, kalau tidak suka/tidak setujuterhadap sesuatu akan disampaikan,tidak dipendam

suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Diam diartikan menolak atau tidak setuju dalam budaya batak mencerminkan pentingnya ekpresi mengenai persetujuan

Orientasi kepada kelompok

Pemisahan yang jelas antaraKelompok saya VS bukan kelompok saya.

Budaya Batak lebih memiliki orientasi pada kelompok lebih tinggi. Tercermin dengan adanya marga dalam kelompok kekerabatan yang sangat dipegang teguh.apabila merantau memegang prinsi “halak hita” atau mencari sesama orang batak sendiri

 

Terbuka tidak terikat dalam satu kelompok, bisa berpindah-pindah sesuai kebutuhan

Masyarakat Sunda cenderung luwes dalam melihat perbedaan dalam kelompoknya dan luar kelompoknya dengan menjadikan kelompok lain sebagai referensi untuk menilai kelompoknya. Selain itu pola hubungan tetap terbangun diantara kelompoknya dan kelompok lain.

Ikatan kelompok

Memiliki ikatan kelompok yang sangat kuat, baik itu keluarga maupun kelompok masyarakat

Pandangan orang Batak terhadap marganya mencerminkan kuatnya ikatan kelompok dalam masyarakat batak, termasuk menentukan  pasangan hidup yakni tidak boleh berasal dari marga yang sama.

 

Masyarakat Sunda memiliki sifat pertalian yang kuat dalam masyarakat. Jalinan kekerabatan dan silaturahmi yang selalu terjaga menjadi modal orang Sunda dalam kehidupan bermasyarakat.

Cenderung untuk tidak memiliki ikatan kelompok yang kuat- lebih individual

Komitmen terhadap hubungan dengan sesama

Komitmen yang tinggi terhadap hubungan jangka panjang-hubungan baik lebih penting daripada hubungan tugas/pekerjaan

 

Orang Sunda dikenal dengan sistem kekerabatannya yang kental. Sikap saling mengenal, saling bahu-membahu (gotong-royong) menjadi ciri dari masyarakat Sunda. Dalam memandang persepsi tugas dan relasi, masyarakat Sunda lebih cenderung mengutamakan relasi sosial dan menjadikannya sebagai media untuk melaksanakan tugas secara bersama-sama (gotong-royong)

Komitmen yang rendah terhadap hubungan antar sesama- hubungan tugas/pekerjaan lebih penting dari hubungan baik

 

Orang Batak lebih mengutamakan tugas/pekerjaan. Dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late (dengki, iri) dan teal (sombong) sehingga orang batak memiliki sifat kompetitif dan daya saing yang tinggi. Dengan demikian orang batak pun dinilai lebih profesional.

 

Fleksibilitas terhadap waktu

Waktu bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah garis-proses lebih penting daripada hasil akhir

Budaya batak lebih disiplin mengenai waktu.

Waktu adalah sebuah titik, jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terbuang percuma-hasil akhir lebih penting daripada proses.

Konsep waktu dalam masyarakat Sunda cenderung kurang terorganisir dan bersifat luwes

 

Koperasi Simpan Pinjam Mutiara Jaya

Kosipa/KSP Mutiara Jaya adalah salah satu koperasi besar yang dimiliki dan dikelola oleh orang batak. Para karyawan koperasi ini mayoritas orang batak yang direkrut oleh Pak Ucok, pemilik Kosipa/KSP. Dari sekitar 30 orang karyawan, hanya petugas keamanan (satpam) dan beberapa orang lokal yang menjadi karyawan, lebih banyak karyawan dalam manajemen termasuk collector berasal dari batak. Setiap kali pulang kampung untuk merayakan Natal, orang Batak kembali ke Cianjur dengan membawa sanak saudara untuk dipekerjakan pada usahanya. Oleh karena itulah setiap setelah Natal, biasanya semakin banyak orang batak yang tinggal Cianjur.

Setiap pulang kampung, mereka memiliki kebiasaan yakni membawa sanak saudara sekampung untuk ikut merantau dan bekerja diperusahaan yang telah mereka bentuk. Oleh karena itu setelah Hari Natal, biasanya jumlah pendatang orang Batak biasanya meningkat karena bertambah dari saudara yang diajak untuk tinggal di Cianjur. Sanak saudara yang datang dari kampung halaman, diikutsertakan dalam pekerjaan yang telah dibangun sebelumnya. Misalnya orang batak di Cianjur banyak yang membuka usaha koperasi peminjaman uang. Sanak saudara yang datang dari kampung biasanya dipekerjakan sebagai collector kepada konsumen (orang yang meminjam uang)

Koperasi/ KSP Mutiara Jaya adalah koperasi dalam bidang kredit atau peminjaman uang. Pengelola KSP menawarkan jasa peminjaman uang pada Pada umumnya, masyarakat yang ditawari jasa peminjaman uang ini adalah masyarakat lokal. Peminjaman uang dillakukan dengan aturan yang disepakati antara pengelola dengan debitor dengan jangka waktu yang ditentukan dan bunga pinjaman sekitar 20% dari besar pinjaman. Bu Dede, orang Sunda yang meminjam uang berkata “kalau saya pinjam 100 ribu rupiah, bayarnya dicicil 10 minggu 12 ribu rupiah setiap minggunya” Dengan bunga yang relatif tinggi, sebenarnya cukup memberatkan bagi debitor. Tapi saat ini semakin banyak orang lokal yang tertarik dengan pinjaman ini. Dengan alasan terdesak masalah ekonomi, seseorang merasa harus berhutang untuk menyelesaikan masalahnya.


 

Foto 2

Kantor Koperasi Simpan Pinjam “Mutiara Jaya”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Analisa Low Context Culture dan High Context Culture dalam Koperasi Mutiara Jaya          

  1. 1.       Pemilik Koperasi cenderung lebih banyak merekrut karyawan yang berasal dari orang sesuku dibandingkan merekrut orang lokal.

Alasan mereka merekrut saudara sendiri disamping merupakan ciri kuatnya kekerabatan didalam suku batak itu sendiri juga karena adanya hambatan komunikasi antar budaya diantaranya:

 Kesamaan budaya diantara pemilik koperasi dengan karyawannya mengatasi hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi dapat terjadi ketika pemilik dan karyawannya berasal dari budaya yang berbeda, misalnya dengan orang lokal (orang sunda). Budaya Batak merupakan Low Context Culture karena sering diidentikkan pola komunikasi yang berbicara soal logat yang kasar, berbicara dengan suara yang keras, ceplas ceplos, atau “to the point”. Perwatakan orangnya yang  keras dan tidak mau mengalah atau dapat dikatakan sikap diri yang menilai kesalahan dari pihak eksternal/orang lain.. Sedangkan  budaya orang sunda merupakan High Context Culture sudah indentik dengan hal hal yang lembut dan halus dan cenderung mau mengalah, berbicara berbelit-belit untuk menjaga kesopanan terutama daerah priangan atau Jawa Barat bagian selatan seperti Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Garut dan  Cianjur. penduduk disana yang pribuminya adalah suku sunda mereka selalu berbahasa halus dan lembut jarang sekali orang sunda melakukan hal hal yang kasar.

Selain itu, Paralanguage yaitu bagaimana atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri. Bagi orang batak cara berbicara dan mengungkapkan sesuatu cenderung diungkapkan dengan apa adanya atau bahkan blak-blakkan dengan intonasi tinggi dan volume yang keras. Sedangkan orang Sunda justru sebaliknya, cenderung menyampaikan pesansecara berbelit-belit dengan banyak menggunakan simbol, kiasan, dan kata-kata halus. Hal ini kerap menimbulkan ketersinggungan orang sunda karena meskipun orang batak tidak bermaksud menyinggung atau marah, namun sering diartikan marah dan akhirnya tersinggung karena terbiasa dengan intonasi yang lembut dan kata-kata yang halus.  

Selain itu, terdapat faktor Emosi (Emotional) yang menjadi hambatan komunikasi antara pemilik koperasi dengan karyawan lokal. Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Ketika orang sunda sebagai komunikan menerima pesan yang tidak sesuai dengan budayanya yang membuatnya tersinggung, maka efek komunikasi tidak mencapai tujuan yang diinginkan komunikator, dengan kata lain terjadi misscommunication  atau perbedaan persepsi antara maksud yang diinginkan komunikator dengan maksud yang diterima oleh komunikan.

Perbedaan budaya, paralinguistik dan emosional inilah yang mencoba dihindari oleh pemilik koperasi karena akan memunculkan hambatan komunikasi antara orang batak dengan orang sunda.

Selain etnik yang berbeda, yang termasuk dalam hambatan budaya adalah perbedaan agama. Orang Sunda khususnya Cianjur dikenal dengan religiusitas muslim yang tinggi. Cianjur diidentikkan kota santri karena banyaknya pesantren didaerah ini. Sedangkan orang batak sendiri mayoritas beragama kristen dan pada umumnya memegang teguh agamanya. Nilai-nilai batak yang dipegang teguh oleh orang batak salah satunya adalah Keagamaan yakni orang Batak sangat menjunjungtinggi agama. Agama tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perbedaan agama yang sama-sama dipegang teguh oleh orang batak dan orang sunda dapat menjadi hambatan komunikasi diantara keduanya.

Untuk mengatasi hambatan budaya hendaknya setiap orang sunda maupun orang Batak dapat mengurangi etnosentrik. Etnosentrik  merupakan kecenderungan untuk menilai kelompok lain dengan standar, perilaku, dan adat atau kebiasaan dalam kelompoknya, serta melihat kelompok lain lebih rendah dibanding kelompoknya sendiri (Mulyana & Rakhmat, 2010) sehingga dapat lebih memandang orang lain tidak dari kacamata budaya sendiri.

  1. 2.       Debitor atau konsumen koperasi umumnya adalah masyakat lokal.
  2. Emosi

Terdapat Faktor emosional yang berbeda antara orang batak dengan orang sunda yaitu orang batak secara emosional. Orang batak dengan prinisip Hamoraon   (Kaya raya) salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya  orang Toba, mencari harta yang lebih  banyak. Prinsip ini memacu orang batak untuk mendapatkan kekayaan dengan sangat bersemangat, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik emosional karena keinginan bersaing yang sangat tinggi, dari prinsip ini juga secara emosional orang batak kemudian dikenal pantang menyerah dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late (dengki, iri) dan teal (sombong) (Harahap dan Siahaan, 1987). tingginya emosi (emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa Batak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada mara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya.

Disini dapat kita lihat bagaimana orang dari etnis batak merupakan orang yang tegas dan pantang untuk menyerah sehingga wajarlah rasanya kalau merekan dianggap orang yang keras dari segi emosi. Disini dapat kita lihat bagaimana orang dari etnis batak merupakan orang yang tegas dan pantang untuk menyerah sehingga wajarlah rasanya kalau merekan dianggap orang yang keras dari segi emosi.

Budaya sunda Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang, akan tetapi mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional dan terkesan agak penurut kepada orang lain. “Ulah kawas seuneu jeung injuk” jangan sepert api dengan ijuk. Artinya:  jangan  mudah  berselisih agar  pandai  mengendalikan  nafsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Nuansa ketegasan memang tidak nampak secara eksplisit dalam budaya sunda, karena tertutup oleh sikap penurut kepada orang lain. Secara emosional, orang sunda dikenal lebih kalem dan tidak banyak berbicara. Termasuk ketika marah, orang sunda lebih banyak diam dibandingkan mengungkapkan marahnya secara verbal.

  1. Verbal

Orang Sunda dan Batak sebenarnya mengenal aturan atau kebiasaan kapan orang berbicara, misalnya yang lebih muda mendengarkan lebih banyak daripada yang tua, yang tua lebih bayak berbicara dari yang muda. Orang Batak terbukti mampu beradaptasi dengan kemampuan mereka menyerap bahasa pendatang seperti Hambatan komunikasi verbal antara orang batak dan orang sunda sebenarnya dapat diatasi dengan menggunakan bahasa indonesia dan beradaptasi dengan lingkungan sunda yang kental dengan nuansa Islam. Contohnya ketika menyapa, orang batak yang berbicara dengan orang sunda menyapa dengan “assalamualaikum, bu biasa mau nagih mingguan? Meskipun orang batak tersebut bukan beragama islam, tapi menggunakan sapaan yang lazim digunakan oleh masyarakat sunda.

Oleh karena itulah, dalam menjalankan usahanya orang sunda lebih banyak menjadi konsumen (debitor), selain karena kebutuhan ekonomi yang mendesak juga karena kepribadian orang batak yang pantang menyerah dalam menawarkan bisnisnya dan orang sunda yang cenderung penurut. Begitu pun ketika waktu penagihan, orang batak lebih tegas kepada debitornya.

 

Foto 3

Collector dengan debitor Koperasi Mutiara Jaya

 

  1. Nonverbal.

Makna Diam dalam konteks budaya sunda berbeda dalam budaya sunda dan budaya batak. Dalam budaya sunda diam dapat berarti “Ya” atau “setuju”. Ketika aturan yang disepakati kedua pihak baik pihak koperasi maupun debitor, debitor cenderung mengikuti aturan yang ditetapkan oleh koperasi. Ketika diam maka debitor menyatakan persetujuannya. namun dalam konteks budaya batak, diam berarti penolakan. Ketika debitor menyatakan keberatan misalnya tentang jangka waktu pinjaman dan pihak Namun, ada kesamaan budaya batak dengan budaya sunda dalam konteks nonverbal, yakni dalam menerima isu/informasi cenderung mempertimbangkan siapa yang menyampaikan isu dengan menaruh kepercayaan pada orang tersebut.  Masyarakat akan cenderung menerima informasi yang disampaikan oleh orang yang dituakan/dihormati di lingkungannya. Kebenaran informasi cenderung tidak menjadi fokus perhatian karena teralihkan oleh kepercayaan pada si penyampai informasi. Sebaliknya, apabila si penyampai pesan tidak memiliki kredibilitas/nilai kepercayaan di mata masyarakat maka informasi pun akan sulit diterima. Selain itu, Hal ini ditunjukkan  dengan kontak mata secara langsung tidak dianggap wajar karena sungkan atau menghormati orang yang berbicara. Apalagi yang berbicara adalah orang tua yang sangat dihormati.

Proposisi:

  1. ketika menyapa, orang batak yang berbicara dengan orang sunda menyapa dengan mengucapkan salam “assalamualaikum” Meskipun orang batak tersebut bukan beragama islam, tapi menggunakan sapaan yang lazim digunakan oleh masyarakat sunda.
  2. Orang sunda yang bekerja pada orang batak umumnya tidak bertahan lama karena hambatan komunikasi, seperti intonasi suara yang tinggi/ keras seolah merasa dimarahi.
  3. Orang batak dalam merekrut tenaga kerja untuk usahanya lebih sering menggunakan orang batak sendiri karena kesamaan budaya, agama, emosi termasuk paralinguistik yang dapat mengatasi hambatan komunikasi dalam organisasi koperasi.
  4.  Debitor koperasi pada umumnya adalah orang sunda. Orang batak dengan watak keras, biasanya pantang menyerah dan  tegas ketika waktu penagihan dan orang sunda yang cenderung penurut. Namun beradaptasi dengan budaya sunda yang didominasi oleh nuansa Islam dengan mengucapkan salam ketika berkunjung kerumah debitornya.

Kesimpulan

Budaya Batak memiliki kecenderungan dominasi Low Context Culture daripada High Context Culture. Sedangkan Budaya Sunda memiliki kecenderungan dominasi  High Context Culture dibandingkan Low Context Culture. Dalam melaksanakan bisnis koperasi, orang batak cenderung lebih banyak merekrut orang sesuku untuk mengatasi/menghindari hambatan komunikasi. Sedangkan orang lokal (sunda) lebih banyak menjadi debitor dari koperasi yang dijalankan orang batak karena selain kebutuhan ekonomi, kepribadian orang batak yang pantang menyerah dalam menawarkan bisnisnya dan orang sunda yang cenderung penurut dan kepiawaian orang batak dalam beradaptasi dengan budaya sunda yang didominasi oleh nuansa Islam dengan mengucapkan salam atau mengucapkan kata-kata dalam bahasa sunda ketika berkunjung kerumah debitornya.

Saran:

Mengacu pada pandangan Wilbur Schramm ( Mulyana&Rakhmat,2010)  yang menjelaskan Syarat-syarat Komunikasi antarbudaya yang efektif, komunikasi antarbudaya Batak dan Sunda seharusnya :

  1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Komunikasi akan berhasil bila terjadi komunikasi pribadi (person to person) bukan antara suku batak dengan sunda saja. Ketika orang batak dan orang sunda mengobrol, seharusnya melihat satu sama lain sebagai orang yang mempunyai nama dan sejarah hidup dan kepribadian.
  2. Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana kita kehendaki. Sebuah budaya adalah cara hidup yang telah dijalankan orang sehingga mereka hidup menurut kehendak mereka. Tidak ada kebudayaan yang tidak baik, oleh karena itulah semuanya perlu dihormati. Dengan mengurangi etnosentrisme dan tidak menganggap budaya sendiri lebih tinggi dari budaya orang lain.
  3. Menghormati hak anggota budaya lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dengan memandang orang lain tidak dari perspektif budaya kita, namun berfikir bahwa seseorang bertindak dengan baik menurut budaya yang dianutnya walaupun berbeda bahkan bertentangan dengan budaya kita. Memahami budaya lain seperti orang sunda memahami intonasi keras orang batak yang tidak selalu berarti marah.

Daftar Pustaka

Harahap B.H & Siahaan H.M (1987) Orientasi Nilai-nilai batak : Sosial dikotamadya Medan (Disertasi) Bandung: Universitas Padjadjaran.

Hall, Edward T (1973) the silent language, Anchor Book, Anchor Press, Garden City. New York.

 

Rakhmat, D. M. (2010). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Samovar, R. E. (2010). Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi Antarbudaya. Dalam D. M. Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya (hal. 11-35). Bandung: Remaja Rosdakarya.

http://fernandezsilaban14.blogspot.com/2013/05/orang-batak-yang-kasar-kata-nya.html

http://pepyteknokra.wordpress.com/2010/01/10/analisis-kebudayaan-suku-sunda-kecendrungan-sikap-dan-prilaku-yang-mengarah-pada-kebudayaan-lcc-atau-hcc/

http://etikabisnis.blogspot.com/2012/02/komunikasi-antar-budaya.html

www.usu.ac.id/id/files/artikel/irma_batak_toba.pdf

http://www.scribd.com/doc/…/KomunikasiNonVerbal

 

 

 

 

Standar

Tinggalkan komentar